Rabu, 24 November 2010

Bukit Tangkiling


Siapa yang menempa bongkahan batu ini?
Ilalang tak enggan tumbuh diatasnya
Akar pepohonam tak ragu mencengkramnya
Dia biarkan sepasang kaki berpijak pada permukaannya yang sedikit basah
Dia tunjukkan ada tapal kuda di sungai Rungan
Istana kecil, markas Brimob
Jalan setapak yang beraspal
Barisan pohon membingkai cakrawala
Bukan yang tertinggi, bukan yang berasap

Pengumpul Brondolan



Tatinem, pengumpul brondolan di kebun PT. Binasawit Abdipratama. Brondolan adalah buah sawit yang jatuh karena masak atau terpisah dari janjangan saat dipanen . Usianya 35 tahun. Berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. Suaminya adalah pemanen, di kebun yang sama. Mempunyai dua anak, anak pertama sekolah di SMK 2 Muhammadiyah Sampit, kelas XI, sedangkan yang bungsu kelas 4 SD, tinggal bersamannya.
 
Sejak tahun 2003, Tatinem sudah  menjadi pengumpul brondolan di kebun ini. Namun, hanya dua bulan saja. “Karna anak nggak betah.” Katanya. Lalu pindah ke Riau. Disana Ia dan suaminya mempunyai kerjaan yang sama seperti di kebun ini. Setahun lamanya Ia di Riau, kemudian kembali ke tanah kelahirannya.

Baru lima bulan ia bekerja di kebun ini lagi. Sebelumnya tinggal di Sampit selama setahun. Selama di Sampit ia hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Suaminya buruh bangunan panggilan, yang tidak setiap hari dapat kerjaan, sehingga pendapatannya  tidak menentu. Itulah yang menjadi alasan ia dan suaminya kembali bekerja di kebun ini.

Setiap hari pukul 04.00 pagi, Tatinem Sudah bangun. Menyuci pakaian, bersih-bersih rumah, dan menyiapkan makanan untuk keluarga. Pukul 05.30, ia dan suami berangkat kerja. Jika  lahan sawit yang dipanen kecil, mereka pulang sebelum sore. Namun, jika lahannya besar, atau kebetulan jumlah buah sawit meningkat, mereka pulang sampai maghrib.

Hari ini Tatinem mendapat  delapan pasar, yang berarti ia mengumpulkan brondolan dari 16 baris pohon sawit, panjang lahan perbaris 500 meter. Dengan mendorong angkong. Gerobak penampung brondolan. Ia menyusuri satu per satu pohon sawit. Dengan jongkok  ia memungut brondolan dan mengumpulkannya ke dalam takaran. Selain mengumpulkan buah sawit yang masih segar, ia juga mengumpulkan buah sawit yang sudah busuk.

“Nggak capek Bu, jongkok terus ?”

“Capek ya capek, tapi mau gimana lagi.” Jawabnya, sembari tangannya memungut brondolan.

Kami menemukan banyak semut hitam, besar, mengerubungi brondolan di salah satu pohon sawit. “Kalo orang sini bilang, ini semut PKI mas” Katanya, sambil mengatur langkahnya, menghindari semut itu. Karena gigitan semut itu sakit, dan bisa membuat bengkak berhari-hari . Namun, ia juga tidak tahu, mengapa orang bilang itu semut PKI. Ia juga menceritakan kalau dia sering  melihat ular, “Mungkin kaget sama kaget, jadi ularnya pergi” katanya, tertawa.

Brondolan yang dikumpulkan, di bawa ke pinggir lahan dekat jalan kendaraan perusahaan. Krani akan datang untuk menghitung jumlah brondolan yang terkumpul, dan mencatat upah pengumpul brondolan hari itu. Jumlah penghasilannya  sebulan berdasarkan catatan itu. Setiap hari, Tatinem  mengumpulkan 70-80 takaran. Jika buah sawit sedang banyak ia mengumpulkan sekitar 100 takaran. Satu takaran dihargai Rp. 1500, jadi pendapatan Tatinem selama sebulan berkisar Rp. 3.375.000, pada saat normal. Saat buah sawit banyak, berkisar Rp. 4.500.000.

Jika sedang hujan, Ia tetap bekerja. Pada malam hari badannya sering pegal-pegal dan kakinya terasa sakit, karena kelelahan bekerja. “Tapi Alhamdullilah sehat-sehat aja, paling cuma batuk sama pilek.” Katanya.

Dengan bekerja keras, Tatinem ingin menyekolahkan anaknya minimal lulus SMA. Dan dia berharap anaknya bisa lebih darinya.